Legislator Harap Kebijakan Tes Urine di Lapas Tak Timbulkan Persepsi Negatif
Anggota Komisi XIII DPR RI, Marinus Gea, saat mengikuti rapat kunjungan kerja di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (25/7/2025). Foto: Anju/vel
PARLEMENTARIA, Kendari – Anggota Komisi XIII DPR RI, Marinus Gea, menyoroti pelaksanaan tes urine rutin di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang menurutnya dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap kondisi internal pemasyarakatan, baik terhadap petugas maupun warga binaan.
Dalam Kunjungan Kerja Masa Reses Komisi XIII DPR RI ke Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara, Marinus menyampaikan perlunya evaluasi terhadap kebijakan pelaksanaan tes urine secara berkala di lingkungan pemasyarakatan.
“Kemudian, urusan tadi di pemasyarakatan itu juga saya menyoroti soal tes urine rutin. Tes urine rutin itu dilakukan karena apa. Artinya, kalau tes urine rutin dilakukan, berarti ada penggunaan secara rutin di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), baik petugas maupun warga binaan,” kata Marinus Gea kepada Parlementaria usai mengikuti rapat kunjungan kerja di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (25/7/2025).
Menurut Marinus, jika tidak ada bukti yang menunjukkan adanya penyalahgunaan narkoba secara berulang, maka pelaksanaan tes urine secara rutin justru dapat menciptakan narasi seolah-olah penyalahgunaan narkoba merupakan masalah sistemik di dalam Lapas.
“Ini harus dirubah. Kalau tidak seperti itu faktanya, narasinya yang harus dirubah,” ujarnya.
Marinus juga mempertanyakan mekanisme penanganan bagi pihak yang terbukti positif dalam tes urine. Ia menekankan perlunya kejelasan apakah pelanggaran tersebut diproses melalui jalur hukum dari awal, atau cukup ditangani melalui keputusan internal Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS).
“Lalu kemudian, ketika diketemukan yang ada pelanggaran hukum, karena ada tes rutin itu, tadi saya bertanya, bagaimana perlakuannya?” tanyanya.
Legislator dari Dapil Banten ini menegaskan, jika tidak ada kepastian hukum dalam penanganan pelanggaran, hal itu dapat menimbulkan ketidakjelasan yang berdampak pada perlindungan hak-hak warga binaan.
Kendati demikian, Marinus mengajak seluruh pihak untuk melihat kembali efektivitas kebijakan pemasyarakatan, khususnya terkait pencegahan narkoba dan kewenangan hukum internal Ditjen PAS. Menurutnya, hal ini penting agar sejalan dengan prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia.
“Apakah yang diketemukan itu akan dihukum melalui proses dari awal atau Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan punya hukum sendiri yang dia bisa putuskan untuk menambah hukuman bagi pelanggar di dalam keluarga binaan,” pungkasnya. (aas/aha)